Rayyis:
Bunda, kenapa kok hujan?
Bunda:
Hujan berasal dari awan, nak.
R:
Kenapa ada awan?
B:
Awan dari air di bumi yang menguap
R:
Kenapa menguap?
B:
Karena ada sinar matahari
R: Kenapa
ada sinar matahari?
B:
Emm… karena Allah menciptakan matahari, supaya kita di bumi bisa tetap hidup
Lain
waktu…
R:
Bunda, kenapa adek belum bisa jalan?
B:
Karena kakinya masih belum kuat untuk jalan
R:
Kenapa belum kuat?
B:
Adek masih kecil, umurnya baru 3 bulan. Nanti kalo sudah umur 1 tahun bisa
insyaa Allah berjalan. Nanti Mas Rayyis ajari adek jalan ya. Adek disemangatin:
semnagat dek!
R: Ya,
diajarin ya?
B:
Iya…
Ini
hanya salah dalah dua pertanyaan yang ditanyakan Rayyis sejak usianya 3 tahun.
Pertanyaan yang tiada henti disampaikan dari bangun sampai tidur lagi. Anytime,
any situation, any where.
Kadang-kadang,
apalagi pas kondisi terburu-buru, banyak urusan yang harus diselesaikan,
pertanyaan-pertanyaan Rayyis rasanya membuat kami kewalahan. Biasanya hal-hal
yang membuat kami merasa kewalahan pada tiap tahap perkembangan saya jadikan
alarm bagi untuk berhenti sejenak dan mempelajari : apa gerangan yang sedang
terjadi pada diri bocah yang hampir berusia 4 tahun ini?
Setelah
mempelajari beberapa artikel dan textbook, saya mulai bisa memahami apa yang
sedang terjadi dibalik unstoppable questions-nya Rayyis dan kira2 bagaimana
menyikapinya:
Golden
age-nya masih belum berakhir. pertanyaan-pertanyaan yang terasa mungkin
meaningless buat orang dewasa ini amat penting untuk anak. Lewat pertanyaan2
ini otaknya sedang berkembang lebih advance lagi. Otaknya sedang mengalami
sinaptogenesis & myelinasi. Otak pada masa balita sangat sensitif
dengan stimulus yang diterimanya dari lingkungan (plasticity). Jika
direspon dengan positif (responsive, tepat, bermakna, berorientasi belajar) maka
otak akan lancar jaya terus bertumbuh. Dan jika direspon negatif
(mengabaikan,abusive), perkembangan otak akan terhambat.
Dengan
bertanya, anak mengambil peran aktif pada proses pembelajarannya untuk mengenal
dunia. Menyambut setiap pertanyaannya dengan positif, menganggap
pertanyaannya penting, memfasilitasi pertanyaannya menjadi momen belajar yang
mengasyikkan akan membangun harga diri-nya (self esteem).
Saya
jadi teringat apa yang dituliskan Bapak Fauzil Adhim di bukunya: harga diri
yang sudah terbangun ini akan membangkitkan motivasi intrinsik untuk belajar. Pada
usia 2-4 tahun tugas orang tua (dan guru) adalah menciptakan perasaan positif
pada kegiatan belajar. Kegemaran
belajar-lah yang perlu terlebih dahulu ditumbuhkan pada diri anak balita.
Kemudian,
bertanya juga adalah wujud curiosity (keingintahuan) anak yang begitu tinggi.
Sementara curiousity adalah salah satu kunci pembelajaran yang lagi-lagi harus
dipupuk. Sehingga harapannya di usia-usia mendatang anak bisa menjadi
pembelajar mandiri yang belajar bukan karena disuruh orang tua/guru tetapi
karena motivasi intrinsik yang kuat untuk belajar.
Anak
sedang mengembangkan thinking skills - melogikakan apa yang ia lihat dengar
& rasakan dengan bertanya. Maka orangtua/caregiver perlu memikirkan jawaban
dari setiap pertanyaannya dengan baik, karena jawaban-jawaban ini akan berefek
pada logika berpikirnya-caranya memandang dunia-menyelesaikan masalah. Jadi
menjawab pertanyaannya tidak bisa asal-asalan, asal anak diam, asal anak puas.
Seperti
ketika Rayyis pernah bertanya tentang hantu. Alih2 bilang hantu itu menakutkan
atau jahat, saya jelaskan bahwa hantu tidak ada. Allah menciptakan jin &
setan sebagai makhluk ghaib yang tidak kelihatan. Setan tidak suka sama anak
yang rajin sholat & mengaji. Jawaban kita akan mempengaruhi cara anak
memandang sesuatu.
Jelaslah
sudah, anak bukan sekedar bertanya. Orang tua perlu menyadari ini supaya bisa
lebih BERSABAR & bahkan MERESPON LEBIH menghadapi pertanyaan-pertanyaan
yang kadang-kadang tanpa henti dan membingungkan.
Biasanya
kalau sudah mentok jawab pertanyaan Rayyis saya akan bilang:
“Nak,
sudah dulu ya nanya-nya. Dilanjutkan besok pagi ya?”
“Rayyis,
Bunda belum tau jawabannya, Bunda cari tau dulu ya…”
“Rayyis,
nanti kalau sudah lebih besar insyaa Allah akan mengerti…”
“Rayyis…
Bunda berpikir dulu ya jawabannya…”
Merespons
pertanyaan anak lebih jauh - tidak sekedar menjawab bisa lebih menstimulasi
otaknya untuk berpikir & mengembangkan semangat belajar. Misalnya:
1.
Dengan balik bertanya:
R:
Bunda, kenapa mobilnya harus dikunci?
B:
Kalo ga dikunci nanti bisa dicuri orang
R:
Kalo dicuri orang nanti apa?
B: Mm,
kalo dicuri orang nanti apa ya kira2?
R:
Hilang mobilnya!
B:
Betul! Nanti kalo hilang mobilnya kita kemana2 naik apa?
2.
Menggunakan media untuk menjawab. Rayyis alergi dairy product, termasuk susu
UHT & keju. Rayyis sempat heran & protes kenapa keju pun hanya boleh
terbatas dikonsumsi.
R:
Bunda kenapa keju itu dari susu?
B:
Keju itu memang dari susu sapi. Mau lihat cara bikinnya?
R:
Mau!
B:
Oke. Nanti kita cari videonya YouTube ya.
Sejak
nonton video pembuatan keju, Rayyis ga pernah protes lagi soal perkejuan ini
hehe.
Sewaktu
jadi sering bertanya soal kota & negara2, saya berikan padanya peta dunia
dengan gambar2 lucu. Ternyata Rayyis suka & sekarang sudah mulai tahu nama2
kota, pulau, & negara.
3.
Sengaja menghadirkan sesuatu supaya anak bertanya. Misalnya dengan menyediakan
buku-buku ensiklopedi. Rayyis biasa minta dibacakan 6-7 buku setiap hari,
otomatis pertanyaan jadi terus mengalir bahkan sampai Bundanya sudah terkantuk2
sambil menyusui si adek
Semoga
kita semua tidak termasuk orang tua yang menjawab pertanyaan anak dengan respon
negatif seperti:
“Nanya
mulu sih…” atau “Bisa diem dulu ga?” atau “Kaya gitu kok ditanyain sih…”
Jika
tanya di dalam dirinya terus menerus tidak bisa difasilitasi oleh orang2
terdekat yaitu orang tua & other caregiver maka suatu saat ketika sudah
lebih dewasa anak akan bertanya ke LUAR entah teman sebaya atau malah update
status. Bahkan untuk pertanyaan2 kritis yg seharusnya didampingi orang tua:
Pacaran
itu apa?
Mimpi
basah itu seperti apa?
Semoga
anak-anak selalu akan kembali ke kita orang tua-nya sebagai tempat bertanya,
berkonsultasi. Semoga Allah senantiasa member kita petunjuk.
Semoga
bermanfaat
1.
Child Development, Third Edition: A Practitioner's
Guide. By Douglas
Davies
2. Segenggam Iman untuk Anak Kita.
By Mohammad Fauzil Adhim